Jumat, 25 Desember 2009

Negara dan Perlindungan Konsumen

Negara dan Perlindungan Konsumen 

Oleh: AJ Susmana
Alumnus Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 

Realitas bahwa sebagian rakyat  kita memakan sisa-sisa makanan entah dari restoran, rumah makan, atau potongan-potongan makanan yang terbuang sebenarnya bukanlah hal baru. Itu pun sudah menjadi pengetahuan umum rakyat (miskin) perkotaan apalagi bagi aktivis pengorganisasian dan pendampingan rakyat miskin perkotaan.
Jauh sebelum Soeharto jatuh, di tahun 1990-an, menu dari sisa-sisa makanan yang terbuang dan dikumpulkan atau dicampuradukkan menjadi satu itu di sebagian kalangan anak jalanan, yang juga disebut Tikyan, sangat populer dinamakan Oyen. 
Tanpa peduli pada ancaman penyakit yang ada dalam Oyen, Oyen mau tak mau menjadi menu makan (ter) favorit bagi anak jalanan, dan para kere lainnya yang setiap hari harus bergulat dengan rasa lapar tanpa jaminan yang pasti darimana makanan pengganjal perut bisa diperoleh.
Soal seluk-beluk Oyen dan kehidupan anak jalanan bisa dibaca di bulletin anak jalanan, Jejal, JErit JAlanan, dari Yogyakarta, yang diterbitkan komunitas Girli atau Riwayat Hidup dan perjuangan Heri Bongkok: Perjuangan dan Penindasan, yang diterbitkan oleh YLPS Humana, Yogyakarta tahun 1995. 
Tidak diragukan memang, sebagian masyarakat sendiri sudah memberi stigma pada anak-anak jalanan dan para kere itu sebagai gelandangan tak berguna dan sampah masyarakat yang tak bisa punya kehidupan dan tak bisa dididik menjadi warga negara yang baik.
 Dengan demikian, turut melanggengkan anak-anak jalanan dan para kere itu terus-menerus menjadi orang-orang terbuang, jauh dari standar normal kehidupan warganegara dan kemanusiaan umumnya.
Tentu ini adalah problem sosial yang tak bisa didiamkan. Negara harus bertanggung-jawab pada pemenuhan kemanusiaan para gelandangan, kere dan anak-anak jalanan lainnya sebagaimana amanat UUD Dasar 1945: fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Dari kehidupan anak jalanan, para kere dan rakyat miskin perkotaan itu bisa dipahami betapa susah mereka menghadapi hidup dari hari ke hari bahkan dalam soal kebutuhan yang sangat primer: makan. Sementara itu kehidupan lain yang sangat foya-foya dengan makanan dapat ditemukan dengan mudah. Di balik gedung-gedung megah, atau di belakang restoran mewah, rakyat yang lapar antre menadah limbah dan sisa-sisa makanan yang terbuang. Sebagian lagi mengais-ngais di tong sampah, jalanan dan gerbong-gerbong kereta api. 
Namun, sisa-sisa makanan, termasuk daging yang tak lagi muat di perut kekenyangan alias Oyen yang dulu cukup menjadi lingkaran para tikyan atau para gelandangan dan kere itu akhirnya menembus lingkaran yang lebih luas: masyarakat perkotaan yang semakin dimiskinkan dan membutuhkan berbagai jenis kebutuhan yang bisa dimurahkan karena gaji dari kerja tak cukup mengikuti perkembangan harga-harga pasar. Inilah peluang bisnis baru, tak peduli kesehatan  perut konsumen yang rata-rata juga termasuk golongan orang susah. 
Media cetak dan elektronik yang gencar memberitakan penjualan olahan daging sisa (yang kadang sudah membusuk) di pasaran semakin membuat rakyat kecil dengan gaji pas-pasan semakin mual, muak dan bingung: makanan apa yang sehat, bersih dan layak untuk dikonsumsi? Mau tak mau pikiran pun melayang-layang pada gerai-gerai bersih tapi mahal semacam Carrefour dan sejenisnya tapi tentu saja kantong tak cukup, sementara di warung jalanan yang sering memberikan harga murah, sudah terbayang tentang pemberitaan daging tikus sebagai campuran bakso atau daging sisa restoran busuk yang sudah diolah kembali dengan menggunakan zat-zat yang bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh. Begitu mengerikan dan menjijikkan.
Situasi seperti ini tentu tak baik bagi perkembangan usaha makanan dari para pengusaha kecil yang sedang merintis dan kadang memang penuh kejujuran dalam proses produksinya. Di pihak lain, jelas bahwa selama ini perlindungan konsumen, hanya diperuntukkan bagi kelas menengah ke atas.
Apa yang dimakan rakyat kecil, tak diurus dengan baik kecuali ada temuan-temuan yang itu pun justru menimbulkan banyak kecurigaan karena masalah yang muncul seringkali tak diusut dengan tuntas. Di sisi lain adalah mematikan usaha-usaha kecil yang jujur atau setidak-tidaknya membikin rakyat was-was terhadap makanan murah yang beredar di masyarakat yang pada kenyataannya memang membutuhkan harga murah dan mengarahkan pola konsumsi rakyat pada gerai-gerai “bersih” yang dijamin “kesehatan” nya. 
Bisa jadi rakyat pun lantas mengambil kesimpulan: Yang mahal pasti bersih dan sehat sedangkan yang  murah? Hmmm…pasti ada apa-apanya dan tak bermutu; sebagaimana juga di bidang-bidang lain: kesehatan, pendidikan, transportasi.
Sementara yang kita butuhkan dalam soal pelik ini adalah pengawasan yang professional sekaligus berdedikasi terhadap rakyat dan publik yang membutuhkan. Tanpa itu, profesionalitas akan kehilangan arah dan jauh dari cita-cita bangsa yang hendak menyejahterakan, memakmurkan dan melayani rakyat sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 63 tahun yang lalu. 
Bukankah gerai-gerai asing, termasuk dalam hal kesehatan dan pendidikan, (untuk sementara ini) dijamin akan lebih bermutu dan lebih professional dalam melayani publik dengan berbagai sertifikasi yang sudah diperoleh? Tapi apakah semua gerai-gerai asing itu dapat dijangkau rakyat? Atau, malah justru akan semakin memiskinkan rakyat karena rakyat terjebak dalam pola konsumsi neoliberal?
Data diambil dari http://batampos.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

Marquee Text Generator -

Jadwal Sholat

 
Website counter

Site Info